twitter

Man Jadda Wajada | 
Man jadda wajada adalah kalimat bahasa Arab bukan ayat al-Quran atau hadis. Dari struktur qawaid (tata bahasa Arab), kalimat tersebut adalah kalimat yang sempurna. Ucapan tersebut menurut sebagian kalangan pernah diucapkan Umar bin Abd Aziz, tetapi sebagian lagi membantahnya, dan mengatakan bahwa kalimat man jadda wajada hanyalah ucapan orang Arab yang menjadi kalimat motivasi turun temurun.
“Siapa bersungguh-sungguh dia berhasil”, demikian arti kata demi kata dari kalimat motivasi tersebut. “Jadda” (bersungguh-sungguh) adalah kata kerja bentuk lampau, telah dilakukan, dan diistilahkan dalam ilmu qawaid dengan fi’il madhi. Pekerjaan yang telah dilakukan mengisyaratkan adanya harapan dan hasil dari pekerjaan. Hasil dari pekerjaan “Jadda” itu adalah “wajada”, yang berarti mendapatkan atau berhasil. Seperti halnya dengan kata “jadda”, “wajada” juga adalah kata kerja bentuk lampau.

Jika demikian, arti kalimat man jadda wajada dalam posisi kata jadda dan wajada sebagai kata kerja bentuk lampau adalah; siapa yang telah bersungguh-sungguh, maka dia telah berhasil. Apa maksud “telah berhasil” jika “jadda” adalah bentuk lampau yang mengisyaratkan adanya harapan dan hasil dari pekerjaan?. Struktur kalimat inilah bagi penulis letak dari nilai magis kalimat Man Jadda Wajada.

“Sungguh-sungguh” dalam bahasa indonesia berarti tidak main-main, dengan segenap hati, dengan tekun, dan benar-benar. “bersungguh-sungguh”, berarti berusaha dengan sekuat-kuatnya (dengan segenap hati, dan dengan sepenuh minat). Jika ditilik ke belakang, makna kata bersungguh-sungguh tentunya mempunyai sebab. Kesungguhan tidak hadir tiba-tiba dan sekejap, tapi ada sebab yang melatarbelakangi. Bahkan sesuatu yang bukan minat, dan cita-cita seseorang, menjadikan objek tujuan orang tersebut untuk bersungguh-sungguh mencapainya.

Bersungguh-sungguh merupakan faktor penting untuk meraih sebuah keberhasilan dan kesukesan. Tidak ada kata berhasil dan sukses kecuali bagi mereka yang bersungguh sungguh. Dan nilai keberhasilan serta kesukesan seseorang sangat berbanding lurus dengan seberapa besar kesungguhannya. Man Jadda wajada, begitulah sebuah makhfudzat Arab mengatakan.

Makhfudzat yang terdiri dari tiga kata tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut; kata “man” dalam kaidah bahasa Arab merupakan “huruf syarat” yang berarti “siapa”. Dengan demikian siapapun orangnya, baik itu orang yang beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha ataupun ateis sekalipun; orang aborigin, negro maupun indian sekalipun; ketika dia bersungguh-sungguh (jadda) maka dia akan mendapatkan (wajada) apa yang dia harapkan. Sedangkan kata “jadda”, yang memiliki makna “bersungguh sungguh”, mengandung arti umum yang berarti kesungguhan dalam segi apapun, dalam hal-hal yang positif maupun negatif. Adapun kata “wajada” yang dalam kalimat tersebut merupakan “jawab syarat” dari huruf syarat “man” adalah sebuah implikasi atau hasil dari bersungguh-sungguh (jadda). Jadi, kesungguhan merupakan aspek penting yang menentukan seseorang dalam mendapatkan apa yang dicita-citakannya bahkan kesungguhan merupakan syarat untuk meraih kesuksesan.

Kata bersungguh-sungguh “jadda” dalam konsep Islam terkait dengan tiga istilah penting, yaitu jihad, ijtihad dan mujahadah. Ketiga kata tersebut secara umum memiliki arti yang sama, yaitu “bersungguh-sungguh.” Hanya saja dalam aplikasinya, ketiga kata ini memiliki posisinya masing-masing, seperti jihad merupakan kesungguhan melalui fisik, ijtihad kesungguhan melalui akal pikiran dan mujahadah kesungguhan melalui hati. Apabila ketiganya sudah menyatu dan terintegrasi dalam diri seorang mukmin, maka akan terbentuklah pribadi yang tangguh yaitu ribadi yang dalam istilah tokoh intelektual muslim terkenal, Sir Iqbal, disebut sebagai al-insan al-kamil (manusia yang sempurna).

Banyak orang yang dalam meraih impiannya telah terinspirasi oleh makhfudzat singkat namun syarat makna ini. Mereka yang mau meresapi makna terdalam dari makhfudzat ini, akan mampu mencapai apa yang dicita-citakannya. Kita masih ingat sang penulis novel best seller Ahmad Fuadi yang menulis novel berjudul “Negeri 5 Menara”. Ketika dalam suatu wawancara di salah satu TV swasta, dia ditanya oleh sang moderator; apa yang membuat anda seperti sekarang sehingga anda dapat menelorkan sebuah karya non-fiksi sebagus ini? Pertanyaan itu kemudian dijawab dengan nada mantap oleh sang penulis; semua ini tidak lain karena saya memiliki prinsip “man jadda wajada”. Dengan prinsip ini saya yakin bahwa apapun cita-cita kita, selama kita bersungguh sungguh maka kita akan mendapatkannya, tentunya juga dengan selalu mengharap dan berdoa kepada Allah Ta’ala, ungkap penulis yang pernah ditawari 8 jenis beasiswa sekaligus. Itulah salah satu kisah dari sekian banyak kisah orang yang meresapi, memahami, mendalami serta menjalani makhfudzat ini.



Dalam budaya Jawa, juga terdapat ungkapan yang cukup berkesan dan tentunya masih berhubungan erat dengan makhfudzat yang satu ini; “Sapa sing tekun, mesti bakal tekan senajan kudu nganggo teken”. Maksudnya, orang yang di dalam jiwanya sudah tertanam semangat ketekunan, maka dia akan senantiasa berusaha untuk mewujudkan apa yang dicita-citakannya, walaupun dia harus menggunakan tongkat agar sampai pada yang ditujunya itu. Ibarat seorang pendaki gunung. Ketika dia sudah berkomitmen di dalam dirinya untuk mendaki gunung, maka dia akan terus mendaki setapak demi setapak. Ketika di tengah perjalanan dia menghadapi berbagai macam rintangan dan hambatan, hal itu tidak menyulutkan nyalinya untuk tetap mendaki. Semak belukar, batu terjal dan berbagai macam kendala akan tetap dilaluinya walaupun dia harus berjalan terseak-seak dengan ditemani sebatang tongkat di tangannya. Itulah hakikat ketekunan yang tentunya tidak bisa lepas dari kesungguhannya untuk meraih harapannya agar sampai di puncak.

Ketika kita melihat orang berhasil dengan kesuksesan yang luar biasa, itu bukan berarti disebabkan mereka yang luar biasa, tapi dikarenakan mereka bersungguh-sungguh secara luar biasa. Namun sayangnya, kebanyakan dari kita terkadang hanya melihat mereka dari apa yang mereka dapatkan sekarang. Kita jarang menanyakan mereka yang dulu. Bagaimana mereka meraih kesuksesan yang seperti sekarang kita lihat. Untuk itu paradigma dan persepsi kita sudah seharusnya dirubah. Kita pelajari bagaimana mereka sukses bukan kesuksesan seperti apa yang mereka dapatkan.

Dan ketika kita mempunyai cita-cita serta harapan, maka ada satu hal yang harus dikerjakan yaitu kesungguhan dalam mewujudkannya. Kesungguhan di dalam proses tersebut akan menentukan hasil yang akan dicapai. Semakin besar kesungguhan maka akan semakin mendekatkan pada hasil. Namun sebaliknya, apabila kesungguhan tidak ada, tentunya tidak pantas untuk menunggu hasil.

Hidup yang tidak dilalui dengan kesungguhan dan perjuangan adalah hidup yang tidak layak untuk dilanjutkan. Karena kesuksesan berbanding lurus dengan kesungguhan dan perjuangan, maka tanpa keduanya tidak ada yang namanya kesuksesan. Wallahu a’lamu bish-shawwab.
Senin, 30 April 2012 | 0 komentar | Label:

0 komentar:

Posting Komentar

Followers